Kota Tua Jakarta Part 2
Akhirnya, selang 2 bulan setelah Wisata Kota Tua yang pertama, saya bisa melanjutkan menyusuri kota tua Jakarta menemukan sisa-sisa peninggalan masa lalu yang belum sempat dijajaki pada perjalanan yang pertama. Hari Sabtu, tanggal 10 Juni 2006, saya bersama Rina, Santi, Nevy, Opi, Didi dan Yulia berangkat ke kawasan Kota. Tujuan pertama kami adalah ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan yang sangat tersohor dan terpenting di masa lalu itu. Dari depan Museum Bank Mandiri kami naik angkot 08, tujuan Ancol.
Kami tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa jam 12 siang dan disambut dengan deretan kapal dan cuaca yang panas menyengat. Ketika pertama memasuki gerbang Pelabuhan Sunda Kelapa, saya langsung tertarik dengan tulisan Tourist Information dan berharap mendapat keterangan-keterangan mengenai Pelabuhan Sunda Kelapa ini, mungkin dalam bentuk brosur atau petunjuk-petunjuk lain. Tapi ternyata saya bermimpi. Yang dimaksud dengan Tourist Information di Sunda Kelapa ini adalah sebuah ruangan kecil sederhana dan tidak berpenghuni. Di depan pintu Tourist Information, kami langsung dihampiri oleh seorang bapak yang bersedia mengantarkan kami berkeliling Sunda Kelapa tetapi dengan biaya 5 Dollar. Saya sempat terkejut karena jelas-jelas kami adalah turis domestik alias bukan bule alias orang Indonesia asli tetapi dikenakan.
Akhirnya kami menolak tawaran jasa tour guide itu dan mencoba berkeliling sendiri. Ternyata bapak tour guidenya menyusul kami dan mencoba menurunkan harga jasa tour guide nya. Setelah bernegosiasi, kami sepakat membayar 25 ribu rupiah untuk jasa tour guide. Kami didampingi sang tour guide yang menceritakan segala informasi tentang kapal-kapal dan pelabuhan Sunda Kelapa itu sendiri, menyusuri pelabuhan yang panas terik. Terus terang, saya tidak begitu menyimak informasi-informasi dari Tour Guide tersebut karena saya sibuk terkagum-kagum dengan banyaknya kapal yang berderet di sepanjang pelabuhan dan juga dengan aktivitas bongkar muat barang.
Tour Guide kami bercerita bahwa kapal-kapal ini biasa mengangkut bahan bangunan seperti kayu dan semen ke pulau-pulau besar di Indonesia. Saya terus memperhatikan para kuli yang membawa kayu dan semen, meniti selembar kayu papan sebagai jembatan menuju ke kapal. Luar biasa sekali, dengan membawa beban berat mereka bisa melakukannya. Saya terheran-heran ingin tahu apa rasanya berjalan di titian papan itu dengan membawa beban berat. Terus terang, saya sendiri tidak berani melakukannya. Tapi ternyata Tour Guide kami mengajak kami untuk memasuki salah satu perahu yang sedang berjajar, dengan cara yang sama, yaitu meniti selembar kayu papan. Rasa takut dan rasa ingin tahu saling bercampur. Akhirnya saya, dengan berpegangan erat pada tangan Tour Guide kami berjalan perlahan-lahan memasuki kapal.
Tour guide kami menjelaskan seluk beluk kapal, yang lagi-lagi hanya saya dengarkan sambil lalu. Saya lebih tertarik untuk melihat-lihat isi kapal dan mengambil foto tentunya. Puas berfoto dan melihat-lihat kapal, kami pun keluar dari kapal dan kembali ke daratan, dengan berpegangan erat satu sama lain meniti selembar kayu papan. Setelah puas, kami akhirnya pergi ke musholla karena teman-teman saya akan melakukan ibadah sholat. Saya sendiri mencuci kaki dan berteduh dari teriknya matahari di Pelabuhan Sunda Kelapa. Setelah selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Menara Syahbandar.
Menara Syahbandar pada jaman dahulu digunakan sebagai menara pengawas lalu lintas kapal. Keadaaannya yang sekarang sungguh menyedihkan dan tampak tidak terurus. Namun demikian kami sempat mencoba menaiki menara tersebut sampai keatas dan memandangi pemandangan dari atas Menara Syahbandar. Dari Menara Syahbandar, kami melanjutkan perjalanan ke Jembatan Kota Intan, dengan melewati Galangan VOC. Galangan VOC ini dahulu adalah tempat perbaikan kapal-kapal yang rusak, tetapi sekarang sudah berubah fungsi menjadi restoran. Menyusuri jalan di Sepanjang Kali Besar, saya merasa sedikit kecewa. Bayangkan, sekarang Kali Besar, yang dahulu bernama The Groot Kanaal, sudah menjadi kali yang hitam, bau dan penuh sampah. Seandainya dijaga dan dipelihara, tentu bisa menjadi obyek wisata. Tetapi, rasa tidak tahan akan bau menyengat dari Kali Besar saya, tidak sebanding dengan penderitaan penduduk yang tinggal di bawah jembatan, tepatnya di atas Kali. Sehari-hari mereka hidup di kali yang kotor dan bau. Inilah potret kehidupan warga Jakarta yang sesungguhnya.
Akhirnya, kami sampai di Jembatan Kota Intan. Jembatan peninggalan jaman Belanda yang masih kokoh berdiri sampai sekarang. Dulunya jembatan ini bisa dibuka dan ditutup ketika ada kapal lewat. Tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Puas berfoto-foto ria, kami melanjutkan perjalanan ke Es Krim Ragusa. Kami naik mikrolet jurusan Stasiun Kota, turun di Carefour dan melanjutkan perjalanan dengan bajaj.
Es Krim Ragusa terletak di jalan Veteran I. Restoran ini selalu penuh dan sesak oleh pengunjung yang ingin mencicipi rasa es krim Italia. Kami beristirahat di Ragusa sambil menikmati es krim yang enak dan menyegarkan. Rasa lelah pun hilang di tengah leburan es krim Italia di lidah.
Dari Ragusa, kami berjalan kaki menuju ke Mesjid Istiqlal untuk beristirahat dan memberikan kesempatan untuk teman saya melakukan ibadah sholat. Keluar dari Mesjid istiqlal, senja sudah turun, lampu-lampu kota mulai dinyalakan. Kami melanjutkan perjalanan berjalan kaki ke Monas yang saat itu sudah bermandikan cahaya lampu dan berganti-ganti warna. Saya hanya sempat mengambil gambar saat Monas berganti warna menjadi merah, padahal sewaktu saya sudah berada di Bus Transjakarta dalam perjalanan pulang, Monas sudah berganti warna menjadi ungu, warna kesayangan saya. Monas adalah tujuan akhir dari perjalanan kami menyusuri sisa-sisa peninggalan sejarah Jakarta di masa lalu.
Sayang, tempat-tempat ini tidak diperhatikan dan dipelihara. Pemerintah kota Jakarta hanya sibuk membuat mal-mal yang semakin menjamur di Jakarta. Padahal jika dipelihara, Kawasan Kota Tua Jakarta akan menjadi obyek wisata yang sangat menarik. Agaknya saya masih harus bermimpi panjang dahulu sebelum terealisasi.
Kami tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa jam 12 siang dan disambut dengan deretan kapal dan cuaca yang panas menyengat. Ketika pertama memasuki gerbang Pelabuhan Sunda Kelapa, saya langsung tertarik dengan tulisan Tourist Information dan berharap mendapat keterangan-keterangan mengenai Pelabuhan Sunda Kelapa ini, mungkin dalam bentuk brosur atau petunjuk-petunjuk lain. Tapi ternyata saya bermimpi. Yang dimaksud dengan Tourist Information di Sunda Kelapa ini adalah sebuah ruangan kecil sederhana dan tidak berpenghuni. Di depan pintu Tourist Information, kami langsung dihampiri oleh seorang bapak yang bersedia mengantarkan kami berkeliling Sunda Kelapa tetapi dengan biaya 5 Dollar. Saya sempat terkejut karena jelas-jelas kami adalah turis domestik alias bukan bule alias orang Indonesia asli tetapi dikenakan.
Akhirnya kami menolak tawaran jasa tour guide itu dan mencoba berkeliling sendiri. Ternyata bapak tour guidenya menyusul kami dan mencoba menurunkan harga jasa tour guide nya. Setelah bernegosiasi, kami sepakat membayar 25 ribu rupiah untuk jasa tour guide. Kami didampingi sang tour guide yang menceritakan segala informasi tentang kapal-kapal dan pelabuhan Sunda Kelapa itu sendiri, menyusuri pelabuhan yang panas terik. Terus terang, saya tidak begitu menyimak informasi-informasi dari Tour Guide tersebut karena saya sibuk terkagum-kagum dengan banyaknya kapal yang berderet di sepanjang pelabuhan dan juga dengan aktivitas bongkar muat barang.
Tour Guide kami bercerita bahwa kapal-kapal ini biasa mengangkut bahan bangunan seperti kayu dan semen ke pulau-pulau besar di Indonesia. Saya terus memperhatikan para kuli yang membawa kayu dan semen, meniti selembar kayu papan sebagai jembatan menuju ke kapal. Luar biasa sekali, dengan membawa beban berat mereka bisa melakukannya. Saya terheran-heran ingin tahu apa rasanya berjalan di titian papan itu dengan membawa beban berat. Terus terang, saya sendiri tidak berani melakukannya. Tapi ternyata Tour Guide kami mengajak kami untuk memasuki salah satu perahu yang sedang berjajar, dengan cara yang sama, yaitu meniti selembar kayu papan. Rasa takut dan rasa ingin tahu saling bercampur. Akhirnya saya, dengan berpegangan erat pada tangan Tour Guide kami berjalan perlahan-lahan memasuki kapal.
Tour guide kami menjelaskan seluk beluk kapal, yang lagi-lagi hanya saya dengarkan sambil lalu. Saya lebih tertarik untuk melihat-lihat isi kapal dan mengambil foto tentunya. Puas berfoto dan melihat-lihat kapal, kami pun keluar dari kapal dan kembali ke daratan, dengan berpegangan erat satu sama lain meniti selembar kayu papan. Setelah puas, kami akhirnya pergi ke musholla karena teman-teman saya akan melakukan ibadah sholat. Saya sendiri mencuci kaki dan berteduh dari teriknya matahari di Pelabuhan Sunda Kelapa. Setelah selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Menara Syahbandar.
Menara Syahbandar pada jaman dahulu digunakan sebagai menara pengawas lalu lintas kapal. Keadaaannya yang sekarang sungguh menyedihkan dan tampak tidak terurus. Namun demikian kami sempat mencoba menaiki menara tersebut sampai keatas dan memandangi pemandangan dari atas Menara Syahbandar. Dari Menara Syahbandar, kami melanjutkan perjalanan ke Jembatan Kota Intan, dengan melewati Galangan VOC. Galangan VOC ini dahulu adalah tempat perbaikan kapal-kapal yang rusak, tetapi sekarang sudah berubah fungsi menjadi restoran. Menyusuri jalan di Sepanjang Kali Besar, saya merasa sedikit kecewa. Bayangkan, sekarang Kali Besar, yang dahulu bernama The Groot Kanaal, sudah menjadi kali yang hitam, bau dan penuh sampah. Seandainya dijaga dan dipelihara, tentu bisa menjadi obyek wisata. Tetapi, rasa tidak tahan akan bau menyengat dari Kali Besar saya, tidak sebanding dengan penderitaan penduduk yang tinggal di bawah jembatan, tepatnya di atas Kali. Sehari-hari mereka hidup di kali yang kotor dan bau. Inilah potret kehidupan warga Jakarta yang sesungguhnya.
Akhirnya, kami sampai di Jembatan Kota Intan. Jembatan peninggalan jaman Belanda yang masih kokoh berdiri sampai sekarang. Dulunya jembatan ini bisa dibuka dan ditutup ketika ada kapal lewat. Tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Puas berfoto-foto ria, kami melanjutkan perjalanan ke Es Krim Ragusa. Kami naik mikrolet jurusan Stasiun Kota, turun di Carefour dan melanjutkan perjalanan dengan bajaj.
Es Krim Ragusa terletak di jalan Veteran I. Restoran ini selalu penuh dan sesak oleh pengunjung yang ingin mencicipi rasa es krim Italia. Kami beristirahat di Ragusa sambil menikmati es krim yang enak dan menyegarkan. Rasa lelah pun hilang di tengah leburan es krim Italia di lidah.
Dari Ragusa, kami berjalan kaki menuju ke Mesjid Istiqlal untuk beristirahat dan memberikan kesempatan untuk teman saya melakukan ibadah sholat. Keluar dari Mesjid istiqlal, senja sudah turun, lampu-lampu kota mulai dinyalakan. Kami melanjutkan perjalanan berjalan kaki ke Monas yang saat itu sudah bermandikan cahaya lampu dan berganti-ganti warna. Saya hanya sempat mengambil gambar saat Monas berganti warna menjadi merah, padahal sewaktu saya sudah berada di Bus Transjakarta dalam perjalanan pulang, Monas sudah berganti warna menjadi ungu, warna kesayangan saya. Monas adalah tujuan akhir dari perjalanan kami menyusuri sisa-sisa peninggalan sejarah Jakarta di masa lalu.
Sayang, tempat-tempat ini tidak diperhatikan dan dipelihara. Pemerintah kota Jakarta hanya sibuk membuat mal-mal yang semakin menjamur di Jakarta. Padahal jika dipelihara, Kawasan Kota Tua Jakarta akan menjadi obyek wisata yang sangat menarik. Agaknya saya masih harus bermimpi panjang dahulu sebelum terealisasi.